Lita Lestari Utami
Musyawarah Mufakat Sebagai Penyeimbang Koalisi Merah Putih dan Salam Dua Jari Dalam Memperkuat Dasar Demokrasi Indonesia

 Musyawarah mufakat memiliki kekuatan sakral karena merupakan nilai yang dihasilkan dari akar budaya bangsa Indonesia. Musyawarah mufakat secara tegas dinyatakan tertuang dalam sila keempat dasar negara kita, yaitu Pancasila. Pancasila merupakan jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberikan kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang semakin baik. Kelestarian, kemampuan dan kesaktian Pancasila itu perlu diusahakan agar adanya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia.

Sedangkan musyawah itu sendiri memiliki pengertian yaitu proses pembahasan suatu persoalan dengan maksud mencapai keputusan bersama. Mufakat adalah kesepakatan yang dihasilkan setelah melakukan proses pembahasan dan perundingan bersama. Jadi, musyawarah mufakat merupakan proses pembahasan sebuah persoalan secara bersama demi mencapai kesepakatan bersama.

Musyawarah mufakat dilakukan sebagai salah satu cara untuk menghindari pemungutan suara yang menghasilkan kelompok minoritas dan mayoritas. Adanya musyawarah mufakat diharapkan dua atau beberapa pihak yang berbeda pendapat tidak terus bertikai dan mendapatkan jalan tengah. Maka dari itu, dalam proses musyawarah mufakat diperlukan kerendahan hati dan keikhlasan diri dalam menerima segala keputusan yang dibuat dari hasil perundingan bersama.

Dalam kehidupan kemasyarakatan demokrasi, musyawarah mufakat merupakan cara yang tepat untuk mengatasi berbagai silang pendapat. Musyawarah mufakat berpeluang mengurangi penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan kepentingan kaum tertentu saja. Musyawarah mufakat berpotensi menghindari dan mengatasi kemungkinan terjadinya konflik. Meski terkesan sederhana, namun jika berkaitan dengan kepentingan bersama, langkah ini adalah langkah yang terbaik untuk mendapatkan solusi yang baik.

Dalam masyarakat demokrasi nilai musyawarah mufakat ini, merupakan suatu sistem sosial dalam masyarakat Indonesia untuk bersepakat mengangkat seorang pemimpin untuk memimpin. Adapun dialog yang berkesinambungan dan berproses secara alami sehingga menghasilkan kepada satu kesepakatan demi kepentingan bersama. Inilah yang sesungguhnya, dalam komunitas kecil pada masyarakat Indonesia masih sangat menjamur dan membudaya. Biasanya pemimpin yang dimunculkan dari mayarakat ini cenderung ditaati oleh mereka yang telah bersepakat memilihnya secara sukarela atau karena tidak ada pilihan yang lain.

Memang, untuk kuantitas masyarakat Indonesia yang semakin bertumbuh dan berkembang telah membuat masyarakat Indonesia justru semakin meninggalkan jatidiri dari sebuah sistem musyawarah mufakat itu sendiri dengan mengedepankan sistem voting. Sistem pemilihan menggunakan voting tentu saja tidak ada yang salah. Hanya saja, proses dari sebuah musyawarah mufakat yang dianut telah dilompati begitu saja. Sehingga, yang ada justru bukanlah untuk kebersamaan melainkan untuk sebuah kepentingan tertentu yang mengatasnamakan kebersamaan. Sehingga terjadi apa yang menjadi istilah jual beli suara. Inilah yang sangat berbahaya yang akhirnya mudah disusupi oleh kepentingan kapitalis yang memporakporandakan sistem musyawarah mufakat.

Sekadar mengingatkan, DKI Jakarta merupakan ibukota negara barometer dari sebuah perkembangan demokrasi bangsa ini. Masih segar dalam ingatan kita belum lama ini proses pemilu kepada daerah gubernur DKI Jakarta, sesungguhnya telah terjadi proses musyawarah mufakat. Hal ini ditandai dari peran media sosial baik itu facebook maupun twitter. Terjadi sebuah kesepakatan yang mengarah kepada sosok Jokowi sebagai sosok yang diinginkan oleh masyarakat DKI Jakarta. Kini peristiwa itu terus bergulir "menggiring" sosok Jokowi menjadi Presiden NKRI 2014 - 2019 mendatang. Padahal, perannya dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai Gubernur DKI Jakarta belumlah usai, bahkan barulah dimulai.

Sosok Jokowi - JK yang maju sebagai calon presiden Indonesia dengan jargon salam dua jari telah mampu menandingi Prabowo - Hatta sebagai tim koalisi merah putih. Sehingga Jokowi dipastikan akan melaksanakan pengesahan dirinya sebagai presiden terpilih dalam waktu dekat ini. Hadirnya koalisi merah putih setelah pengesahan bahwa tim Jokowi - JK telah memenangkan pemilihan presiden, membuat banyak versi pendapat. Masyarakat kini dibuat bingung harus melihat kebijakan siapa. Salam tiga jari yang diusung sebagai bentuk perdamaian diantara dua kubu hanya menjadi wacana, bahkan mediapun pemberitaannya menjadi tidak seimbang.

Politik kini menggeser budaya yang tertera di pancasila kita, tanpa mengindahkan bahwa pemerintahan pada akhirnya jatuh kepada kepentingan masyarakatnya. Politik yang mengedepankan setiap ideologi partainya membuat sistem musyawarah mufakat menjadi tergeser. Kepentingan masyarakat seolah diatur oleh dua kepemimpinan dimana Jokowi – JK sebagai penyelenggara pemerintah dan Prabowo - Hatta sebagai penyeimbang pemerintah yang dijadikan tagline dalam pemberitaan media.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang sangat mengedepankan demokrasi dalam menanggapi setiap kebijakan pemerintah. Hadirnya dua tim pada pemerintahan yang sekarang membuat kita balik lagi ke masa lalu dimana Indonesia dikuasai oleh partai bukan masyarakat. Jika mengedepankan musyawarah mufakat, tidak akan terjadi dua kubu pemerintahan seperti saat ini. Seharusnya dalam menghadapi kebijakan untuk kesejahteraan masyarakatnya, pasti hanya akan dihasilkan satu suara saja. Suara yang muncul nantinya akan memiliki landasan kuat karena setiap lembaga yang ditunjuk membuat kebijakan tidak terpengaruh intervensi lainnya.

Keutuhan NKRI, kini diragukan karena hadirnya dua kubu yang masih saling mengedepankan ideologi masing-masing. Sehingga dalam pemerintahan sendiri menjadi terbagi-terbagi. Bagaimana sebuah kebijakan akan sangat mengedapankan kepentingan masyarakat jika, masih terpengaruh oleh intervensi ideologi atau grand design dari masing-masing kubu. Bahkan jika ditanya sampai saat ini, masyarakat dibuat bingung karena kepala pemerintahannya pun masih terbagi-bagi. 

Saatnya budaya asli Indonesia musyawarah mufakat kita gaungkan demi sebuah kepentingan bersama dan bukan sebuah kepentingan tertentu mengatasnamakan kebersamaan. Kini semuanya itu berpulang kepada kita, akankah sistem keaslian masyarakat Indonesia ini direlakan dan membiarkan dirinya diporakporandakan. Akankah landasan yang kita ketahui sampai saat ini menjadi hilang karena hanya perbedaan yang masih bisa diselesaikan dalam sebuah kesepakatan bersama.

Duduk sama rata, berdiri sama tinggi. Hal yang harusnya dikedepankan dalam pemutusan setiap kebijakan. Ketika pemerintahan memiliki kekompakan dalam menjalani pemerintahannya, dengan dasar ingin mensejahterakan masyarakatnya, dipastikan akan mengurangi bentrokan pemerintahan dibawahnya yang lebih sederhana. Bagaimanapun pemimpin adalah sesosok yang nantinya akan jadi panutan, diharapkan setiap pemimpin yang ada memiliki kerendahan dan keikhlasan hati untuk mendengar dan mewujudkan impian tertinggi masyarakatnya. Mendengar, mengerti dan mewujudkan tanpa adanya perselisihan dalam pemerintahan, akan menjadikan masyarakat yang loyal terhadap kebijakan pemerintah dan menjadikan masyarakatnya memiliki satu tujuan dalam mempererat NKRI kita. 


Penulis : Lita Lestari Utami